Saturday, March 19, 2016

Mentari di kota Padang nyaris menggantung di puncak langit kala itu. Saya baru saja menaiki sebuah angkot putih jurusan Tabing dari depan Basko Grand Mall. Belum lama, hanya sekitar lima menit. Saya sedang asyik menikmati langit kota yang bersinar manis kala itu. Warna biru langit masih bercampur dengan awan gelap yang dihiasi sinar merah muda bercampur oranye bekas fajar tadi.
Suasana langit pagi sebelum berangkat.
Sumber foto: Dokumen pribadi penulis.


***
Tak lama kemudian angkot berhenti di sekitar Pasar Ulak Karang. Agaknya sang supir menunggu orang yang berjalannya lama sekali. Awalnya saya acuh karena sibuk memperhatikan beberapa toko yang tengah bersiap-siap untuk buka. Namun saya tak sabar juga karena mulai kepanasan. Orang yang dinanti-nanti pun belum naik juga. Lalu saya menengok ke jendela. Dari arah Pantai Purus, tampak tiga orang pria berbadan tegap dan berwajah bersih berjalan santai menuju angkot. Mereka masing-masing memanggul sebuah tas ransel besar, mirip tas yang bertengger di punggung para backpackers. Isinya penuh namun tampak ringan. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam angkot.
***

Ketiga orang itu tampak repot sekali mencari tempat duduk. Lalu bergeserlah seorang pria paruh baya bertubuh gempal dengan kaus abu-abu ke tempat duduk paling pojok. Sekilas penampilannya mirip dengan ketiga pria backpackers itu.  
Pria backpacker pertama dan kedua duduk bersebelahan dengan pria berkaus abu-abu. Sedangkan pria backpacker ketiga duduk berseberangan, menghadap pria backpacker kedua. Setelah angkot berjalan, pria berkaus abu-abu seketika mengamati setiap orang diatas angkot. Selain saya, ada mama saya, seorang mahasiswi dan seorang pria umur 25-an.
Tiba-tiba pria berkaus abu-abu menyeringai, matanya mendelik ke arah saya. Seketika saya teringat sebuah kejadian, kira-kira tiga setengah tahun lalu. 

Saya hendak pergi kuliah. Dengan posisi duduk yang sama, tiga orang pria paruh baya bertubuh kurus dengan gerak-gerik aneh mengepung saya yang tengah duduk sendiri di atas angkot. 
Sumber ilustrasi: Dokumen pribadi penulis.
Salah seorang pria tersenyum 'ramah' dan tiba-tiba mengetuk punggung tangan saya. Pandanganku seketika sedikit mengabur, dan saya mengantuk. Namun perasaan terasa sungguh tidak enak dan hati kecil saya bergetar. Saya langsung menyetop angkot dan tanpa jeda menyambar angkot lain. Angkot sebelumnya itu berhenti. Ketiga orang itu tampak sedikit kaget dan tampak hendak turun dari angkot. Untung angkot baru yang saya naiki telah penuh. Ia melaju kencang membawa saya yang gemetaran, terdiam seribu bahasa.
***

Kembali saya melihat ketiga backpackers berbadan tegap itu. Tanpa membuang waktu lagi saya menyetop angkot. Mama langsung terkejut dan tak berhenti bertanya sampai saya membayar ongkos. Ketiga backpackers itu juga tak kalah terkejut. Ketika melewati pintu keluar, salah seorang backpacker mulai mendesakkan ranselnya ke tas jinjingku.
Kami turun di Ulak Karang. Seharusnya kami berhenti di Jalan Ahmad Yani untuk menyambung angkot lain. Tapi saya diam saja. Sang supir tampak kesal. Ia kalap, dan memasang tarif mahal. Sama seperti tarif dari Air Tawar ke Pasaraya. Sungguh tega. Entahlah apa yang ada di pikirannya.
Akhirnya kami bebas.
Seketika kedua tanganku gemetaran. Badan pun perlahan mendingin. Akhirnya saya menjelaskan kepada mama alasan kenapa kami turun ‘lebih cepat’.
Wajahnya yang kebingungan langsung berubah ketakutan. Mungkin sama persis seperti ekspresi ketakutan saya waktu itu. Sayang sekali, mama tidak begitu ngeh dengan keganjilan di atas angkot tadi.
***

Saya memang tak bisa langsung menuding para backpackers tadi dan kawan-kawannya hendak berbuat jahat. Namun ketika itu jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasa. Bibir terasa kering dan seluruh tubuh gemetaran. Hal itulah yang saya rasakan ketika dipojokkan orang asing di atas angkot semester satu lalu. Sang intuisi mengatakan hal yang sama pada dua kejadian yang berbeda tersebut. Pergi. Sejauh-jauhnya.


*Padang, 19 Maret 2016. Pukul 23.18.


Thursday, March 3, 2016

Saat itu nyaris memasuki waktu isha. Berarti kira-kira jam 19.40. Aku dan teman sekamar baru saja kembali dari warung membeli beberapa camilan. Aku tengah duduk, menghadap kipas angin, mengusir panas yang begitu menyengat seharian tadi. Ya, sekitar seminggu ini, hari begitu cerah, panas, nyaris tak ada segaris awan putih di langit yang biru. Panas yang tak wajar tersebut merupakan salah satu tanda gempa besar yang akan terjadi.
Tiba-tiba, Putri, teman sekamar saya itu berteriak panik. Saat itu beberapa gadis di depan rumah juga tengah berteriak dengan hebohnya, tampaknya keroyokan acara ulang tahun. “Kak, gempa!”
Gempa? Aku terbingung diantara suara panik Putri dan teriakan anak-anak diluar. Tapi keadaan tampaknya serius. Putri langsung menarik tanganku dan kami keluar ruangan. Ternyata semua orang telah berada di luar ruangan. Wajah mereka cemas, beberapa menerawang dengan tatapan kosong. Suara heboh tadi sudah menghilang, berganti dengan teriakan panik karena gempa tak kunjung berhenti.
Anehnya ku tak merasakan sedikit getaran pun. Aku mencoba meyakinkan Putri. Ia gemas dan menunjuk pohon yang berdiri di depan kamar kost kami. Pohon itu bergoyang-goyang. Tapi lagi-lagi aku tak merasakan getaran apapun. Dalam beberapa menit yang mencekam itu, kami terdiam. Beberapa orang menelepon sanak famili, yang lainnya browsing, mencari info tentang gempa.
***
Suara adzan berkumandang, masih belum ada info yang jelas mengenai gempa. Kami masih diliputi keheningan. Kemudian Putri berseru di tengah suasana yang nyaris akan pecah. “Kak, 8,3 kak, makonyo kareh tu nyo, potensi tsunami kak.”
Ya Allah, tsunami? Kata-kata itu hanya sering aku dengar di televisi dan ku lihat di media cetak. Kini, mungkin dalam jangka waktu tiga puluh menit lagi ia akan menghantam kota yang telah kudiami selama kurang lebih empat tahun ini.
Kota Padang dilihat dari udara.
Sumber gambar dari http://2.bp.blogspot.com/
Tiba-tiba ku teringat handphone masih terletak di dalam tas. Segera kuamankan barang-barang berharga. Ternyata mama sudah menelepon, tapi tak terangkat. Missed call. Sungguh sayang, saat itu kartuku tengah masuk masa tenggang. Mama, tolong telepon aku sekarang.
“Rissa? Pergi ke Lubuk Buaya sekarang” ucap mama begitu panggilan yang kedua masuk. Ah, suara itu memberiku sedikit nafas disaat yang mencekam. Namun aku bimbang, ada Putri yang ketakutan karena akan kutinggalkan sendirian. Tak lama kemudian, entah kenapa inderaku mendadak menjadi berlebihan. Aku seakan mendengar debur ombak dan mencium aroma segar laut.
Aku langsung berinisiatif mengajaknya untuk pergi. Entah apa yang ada di pikiranku, aku menyuruhnya pergi dengan motornya ke kampung halamannya , Pariaman, dan aku akan ke Lubuk Buaya. Disana ada mamaku, etek, om dan nenek. setidaknya aku akan berada di antara orang-orang terdekat…mungkin disaat terakhirku. Saat itu aku hanya ingin melihat wajah mama, apapun yang terjadi.
Putri sendiri bimbang, ia memilih menunggu teman sekamar yang lain, Kak Nanda dan Suci. Ya Allah, aku ingin berada di dekat mamaku secepatnya. Kalau bisa langsung melesat.
“Put, kak pai yo, kak nio ka lubuak buayo.”
Sungguh berat melihat Putri yang mengiyakanku untuk pergi. Aku hanya ingin berada di dekat mama. Oh, egoiskah diri ini?
***
Aku berlari, entah seberapa cepat. Saat itu langusng ku sambar angkutan kota berwarna oranye, jurusan Lubuk Buaya. Orang-orang di dalam angkot masih belum tahu ada bahaya yang mengancam saat itu.
Tak lama kemudian sebuah pemandangan membuat tubuhku mendingin. Puluhan sepeda motor dengan penumpangnya yang berderet-deret dan beberapa mobil keluar dari Simpang Labor. Wajah mereka semua panik dan kosong. Akhirnya semua orang di dalam angkot menyadari bahaya yang akan segera mengancam. Dua kata terngiang di telingaku. Tsunami. Mengungsi.
Gambar kekacauan saat gempa diambil dari cdn.tmpo.co/. Saat itu, penulis
tak memiliki alat untuk mengambil gambar.
Sang supir langsung tanggap dengan situasi ini. Ia menaikkan semua orang dengan cepat. Kami bersusun-susun seperti sarden di dalamnya. Seorang penumpang perempuan terisak. Di daerah Tunggul Hitam, puluhan kendaraan berbelok kesana, ke arah zona hijau, Lubuk Minturun dan Bypass. Haruskah kami pergi kesana? Tidak, aku harus ke Lubuk Buaya. Aku pasti akan aman di sisi mama. Aku tak sanggup jika tak bisa melihat wajahnya lagi. 
***
Di saat genting dan terjepit seperti itu, semua orang tampak berubah. Kami menjadi pemarah. Setiap ada yang lambat naik atau turun angkot, semua orang akan berseru kesal. Tak terkecuali diriku. Setiap saat aku merasa kesal kenapa angkot itu berjalan lambat sekali, kenapa ada macet yang menjebak kami di daerah Tabing. Aku hanya ingin cepat sampai. Mama terus menelepon, menanyakan keberadaanku. Aku tak tahu sedang dimana, semua samar, karena panik dan hari sudah malam. Gelap.
Namun di satu sisi, aku sedikit merasa tenang melihat beberapa orang di lapau nasi dan kedai lain masih santai. Bahkan ada yang duduk bersilang kaki dan merokok. Tidakkah mereka takut? Ah, pasti warga kota Padang sudah pernah menghadapi gempa dengan isu tsunami 2009 lalu tersebut sudah terbiasa. Sedangkan diriku baru menginjak kota ini tahun 2012, dan hanya berpengalaman dengan gempa-gempa kecil.
Entah sudah berapa lama kami berada di atas angkot. Saat melintasi daerah Muaro, aku melongok ke arah pantai yang tampak lebih jelas disana. Aneh, laut tampak begitu tenang dengan deburan ombaknya, meski ia berwarna hitam saat itu. Dan lebih anehnya lagi, aku kembali menghembus nafas lega. Namun bukan berarti keteganganku berkurang.
Akhirnya angkot telah melewati pasar Lubuk Buaya, itu artinya komplek Lubuk Sejahtera Lestari yang kutuju telah dekat. Di tanganku telah tergenggam selembar uang biru. Karena panik aku memutuskan untuk memberikan saja uang itu kepada supir angkot. Aku tak punya uang receh.
**
Angkot berhenti, komplek Lubuk Sejahtera Lestari terlewat sedikit. Kuberikan uang lembaran biru itu.
“Baliakkan se bara nan ado, da”
“Ndak bisa bitu do diak.”
Supir itu, dia menolak menerima uangku begitu saja. Ia mengambil uang kembalian, aku menyambarnya dan langusng pergi.
“Oi!” supir tadi berseru marah.

Ternyata kembaliannya masih kurang. Kenapa ia memarahiku untuk memberikan uang kembalian tersebut? Kenapa ia tidak pergi saja? Bukankah saat ini semua orang tengah dikejar waktu? Ya Allah, disaat seperti itu, ia masih menolak uang yang menurutnya bukan haknya. Ia pasti seorang pria yang benar-benar baik.
Usai urusanku dengan sang supir, aku melongok mencari mama. Aku memintanya menunggu di seberang komplek, di depan Kantor Camat Koto Tangah. Aku merasa tak sanggup untuk menyeberang. Saat sosok wanita tegar itu tampak, air mata ini tumpah, tak kuasa lagi untuk tertahan. Dari seberang jalan hingga ke dalam rumah tanganku dan mama terus bergenggaman erat.
***
Ternyata perjalanku mulai dari rumah kost sampai ke depan jalan raya, kemudian saat di angkot, hingga sampai ke dalam rumah memakan waktu satu jam. Waktu memang sangat tidak terasa lamanya. Di dalam rumah etek dan om, kami terus memantau televisi. Allah Maha Besar. Peringatan tsunami telah dicabut. Jika tsunami memang datang, mungkin aku akan terhenti di tengah perjalanan. Setelah itu tidak tahulah apa yang terjadi.
***
Sebelum tidur, aku bertukar kabar dengan teman-teman yang lain dan saudara di rantau. Syukurlah, teman sekamarku, Putri, Suci dan Kak Nanda telah mengungsi ke Bypass. Terbetik rasa bersalah telah meninggalkan mereka begitu saja.
Adikku sendiri yang tinggal di Limau Manih, dekat kampus Unand yang berada di zona hijau juga panik. Ia menelepon beberapa kali karena teman-temannya mendengar isu air laut surut saat itu. Air laut yang surut merupakan pertanda akan ada ombak lain yang ganas dengan ketinggian berkali-kali lipat dari ombak biasa menerjang daratan.
Terhitung sejak 2 Maret hingga 3 Maret malam, tubuh ini masih gemetaran. Sedikit saja getaran atau suara gemuruh membuatku gentar. Namun salah peristiwa bersejarah dalam hidupku ini harus dituliskan. Aku ingin membagikan sebuah kisah saat maut yang tak disangka-sangka nyaris tampak di hadapan. Serta bagaimana manusia bisa berubah dalam sekejab di saat genting. Sebuah keadaan yang sedikit menggambarkan bagaimana manusia terkatung-katung dalam kebingungan di saat akhir zaman nanti.

*Padang, 3 Maret 2016 Pukul 10.30 WIB


Blogger Tricks

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Text Widget

About me

About Me

My photo
Padang, Air Tawar Barat, Indonesia
Powered By Blogger

Subscribe

Search This Blog

Pinterest