Mentari
di kota Padang nyaris menggantung di puncak langit kala itu. Saya baru saja
menaiki sebuah angkot putih jurusan Tabing dari depan Basko Grand Mall. Belum lama, hanya sekitar
lima menit. Saya sedang asyik menikmati langit kota yang bersinar manis kala
itu. Warna biru langit masih bercampur dengan awan gelap yang dihiasi sinar
merah muda bercampur oranye bekas fajar tadi.
***
Tak lama kemudian angkot berhenti di sekitar Pasar Ulak Karang. Agaknya sang supir menunggu orang yang berjalannya lama sekali. Awalnya saya acuh karena sibuk memperhatikan beberapa toko yang tengah bersiap-siap untuk buka. Namun saya tak sabar juga karena mulai kepanasan. Orang yang dinanti-nanti pun belum naik juga. Lalu saya menengok ke jendela. Dari arah Pantai Purus, tampak tiga orang pria berbadan tegap dan berwajah bersih berjalan santai menuju angkot. Mereka masing-masing memanggul sebuah tas ransel besar, mirip tas yang bertengger di punggung para backpackers. Isinya penuh namun tampak ringan. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam angkot.
***
Suasana langit pagi sebelum berangkat.
Sumber foto: Dokumen pribadi penulis.
|
***
Tak lama kemudian angkot berhenti di sekitar Pasar Ulak Karang. Agaknya sang supir menunggu orang yang berjalannya lama sekali. Awalnya saya acuh karena sibuk memperhatikan beberapa toko yang tengah bersiap-siap untuk buka. Namun saya tak sabar juga karena mulai kepanasan. Orang yang dinanti-nanti pun belum naik juga. Lalu saya menengok ke jendela. Dari arah Pantai Purus, tampak tiga orang pria berbadan tegap dan berwajah bersih berjalan santai menuju angkot. Mereka masing-masing memanggul sebuah tas ransel besar, mirip tas yang bertengger di punggung para backpackers. Isinya penuh namun tampak ringan. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam angkot.
***
Ketiga
orang itu tampak repot sekali mencari tempat duduk. Lalu bergeserlah seorang
pria paruh baya bertubuh gempal dengan kaus abu-abu ke tempat duduk paling
pojok. Sekilas penampilannya mirip dengan ketiga pria backpackers itu.
Pria
backpacker pertama dan kedua duduk
bersebelahan dengan pria berkaus abu-abu. Sedangkan pria backpacker ketiga duduk berseberangan, menghadap pria backpacker kedua. Setelah angkot
berjalan, pria berkaus abu-abu seketika mengamati setiap orang diatas angkot. Selain
saya, ada mama saya, seorang mahasiswi dan seorang pria umur 25-an.
Tiba-tiba
pria berkaus abu-abu menyeringai, matanya mendelik ke arah saya. Seketika saya
teringat sebuah kejadian, kira-kira tiga setengah tahun lalu.
Saya hendak pergi kuliah. Dengan posisi duduk yang sama, tiga orang pria paruh baya bertubuh kurus dengan gerak-gerik aneh mengepung saya yang tengah duduk sendiri di atas angkot.
Saya hendak pergi kuliah. Dengan posisi duduk yang sama, tiga orang pria paruh baya bertubuh kurus dengan gerak-gerik aneh mengepung saya yang tengah duduk sendiri di atas angkot.
Sumber ilustrasi: Dokumen pribadi penulis. |
Salah seorang pria
tersenyum 'ramah' dan tiba-tiba mengetuk punggung tangan saya. Pandanganku seketika
sedikit mengabur, dan saya mengantuk. Namun perasaan terasa sungguh tidak enak
dan hati kecil saya bergetar. Saya langsung menyetop angkot dan tanpa jeda
menyambar angkot lain. Angkot sebelumnya itu berhenti. Ketiga orang itu tampak
sedikit kaget dan tampak hendak turun dari angkot. Untung angkot baru yang saya
naiki telah penuh. Ia melaju kencang membawa saya yang gemetaran, terdiam
seribu bahasa.
***
***
Kembali
saya melihat ketiga backpackers
berbadan tegap itu. Tanpa membuang waktu lagi saya menyetop angkot. Mama
langsung terkejut dan tak berhenti bertanya sampai saya membayar ongkos. Ketiga
backpackers itu juga tak kalah
terkejut. Ketika melewati pintu keluar, salah seorang backpacker mulai mendesakkan ranselnya ke tas jinjingku.
Kami
turun di Ulak Karang. Seharusnya kami berhenti di Jalan Ahmad Yani untuk
menyambung angkot lain. Tapi saya diam saja. Sang supir tampak kesal. Ia kalap,
dan memasang tarif mahal. Sama seperti tarif dari Air Tawar ke Pasaraya.
Sungguh tega. Entahlah apa yang ada di pikirannya.
Akhirnya kami bebas.
Seketika
kedua tanganku gemetaran. Badan pun perlahan mendingin. Akhirnya saya
menjelaskan kepada mama alasan kenapa kami turun ‘lebih cepat’.
Wajahnya
yang kebingungan langsung berubah ketakutan. Mungkin sama persis seperti
ekspresi ketakutan saya waktu itu. Sayang sekali, mama tidak begitu ngeh dengan keganjilan di atas angkot
tadi.
***
***
Saya
memang tak bisa langsung menuding para backpackers
tadi dan kawan-kawannya hendak berbuat jahat. Namun ketika itu jantungku
berdetak jauh lebih cepat dari biasa. Bibir terasa kering dan seluruh tubuh
gemetaran. Hal itulah yang saya rasakan ketika dipojokkan orang asing di atas
angkot semester satu lalu. Sang intuisi mengatakan hal yang sama pada dua kejadian
yang berbeda tersebut. Pergi. Sejauh-jauhnya.
*Padang,
19 Maret 2016. Pukul 23.18.