Saat
itu nyaris memasuki waktu isha. Berarti kira-kira jam 19.40. Aku dan teman
sekamar baru saja kembali dari warung membeli beberapa camilan. Aku tengah
duduk, menghadap kipas angin, mengusir panas yang begitu menyengat seharian
tadi. Ya, sekitar seminggu ini, hari begitu cerah, panas, nyaris tak ada
segaris awan putih di langit yang biru. Panas yang tak wajar tersebut merupakan
salah satu tanda gempa besar yang akan terjadi.
Tiba-tiba,
Putri, teman sekamar saya itu berteriak panik. Saat itu beberapa gadis di depan
rumah juga tengah berteriak dengan hebohnya, tampaknya keroyokan acara ulang
tahun. “Kak, gempa!”
Gempa?
Aku terbingung diantara suara panik Putri dan teriakan anak-anak diluar. Tapi
keadaan tampaknya serius. Putri langsung menarik tanganku dan kami keluar
ruangan. Ternyata semua orang telah berada di luar ruangan. Wajah mereka cemas,
beberapa menerawang dengan tatapan kosong. Suara heboh tadi sudah menghilang,
berganti dengan teriakan panik karena gempa tak kunjung berhenti.
Anehnya
ku tak merasakan sedikit getaran pun. Aku mencoba meyakinkan Putri. Ia gemas
dan menunjuk pohon yang berdiri di depan kamar kost kami. Pohon itu bergoyang-goyang.
Tapi lagi-lagi aku tak merasakan getaran apapun. Dalam beberapa menit yang
mencekam itu, kami terdiam. Beberapa orang menelepon sanak famili, yang lainnya
browsing, mencari info tentang gempa.
***
Suara
adzan berkumandang, masih belum ada info yang jelas mengenai gempa. Kami masih
diliputi keheningan. Kemudian Putri berseru di tengah suasana yang nyaris akan
pecah. “Kak, 8,3 kak, makonyo kareh tu nyo, potensi tsunami kak.”
Ya
Allah, tsunami? Kata-kata itu hanya sering aku dengar di televisi dan ku lihat
di media cetak. Kini, mungkin dalam jangka waktu tiga puluh menit lagi ia akan
menghantam kota yang telah kudiami selama kurang lebih empat tahun ini.
|
Kota Padang dilihat dari udara.
Sumber gambar dari http://2.bp.blogspot.com/ |
Tiba-tiba
ku teringat handphone masih terletak di dalam tas. Segera kuamankan
barang-barang berharga. Ternyata mama sudah menelepon, tapi tak terangkat. Missed call. Sungguh sayang, saat itu
kartuku tengah masuk masa tenggang. Mama,
tolong telepon aku sekarang.
“Rissa?
Pergi ke Lubuk Buaya sekarang” ucap mama begitu panggilan yang kedua masuk. Ah,
suara itu memberiku sedikit nafas disaat yang mencekam. Namun aku bimbang, ada
Putri yang ketakutan karena akan kutinggalkan sendirian. Tak lama kemudian,
entah kenapa inderaku mendadak menjadi berlebihan. Aku seakan mendengar debur
ombak dan mencium aroma segar laut.
Aku
langsung berinisiatif mengajaknya untuk pergi. Entah apa yang ada di pikiranku,
aku menyuruhnya pergi dengan motornya ke kampung halamannya , Pariaman, dan aku
akan ke Lubuk Buaya. Disana ada mamaku, etek, om dan nenek. setidaknya aku akan
berada di antara orang-orang terdekat…mungkin disaat terakhirku. Saat itu aku
hanya ingin melihat wajah mama, apapun yang terjadi.
Putri
sendiri bimbang, ia memilih menunggu teman sekamar yang lain, Kak Nanda dan
Suci. Ya Allah, aku ingin berada di dekat mamaku secepatnya. Kalau bisa
langsung melesat.
“Put,
kak pai yo, kak nio ka lubuak buayo.”
Sungguh
berat melihat Putri yang mengiyakanku untuk pergi. Aku hanya ingin berada di
dekat mama. Oh, egoiskah diri ini?
***
Aku
berlari, entah seberapa cepat. Saat itu langusng ku sambar angkutan kota
berwarna oranye, jurusan Lubuk Buaya. Orang-orang di dalam angkot masih belum
tahu ada bahaya yang mengancam saat itu.
Tak
lama kemudian sebuah pemandangan membuat tubuhku mendingin. Puluhan sepeda
motor dengan penumpangnya yang berderet-deret dan beberapa mobil keluar dari
Simpang Labor. Wajah mereka semua panik dan kosong. Akhirnya semua orang di
dalam angkot menyadari bahaya yang akan segera mengancam. Dua kata terngiang di
telingaku. Tsunami. Mengungsi.
|
Gambar kekacauan saat gempa diambil dari cdn.tmpo.co/. Saat itu, penulis
tak memiliki alat untuk mengambil gambar. |
Sang
supir langsung tanggap dengan situasi ini. Ia menaikkan semua orang dengan
cepat. Kami bersusun-susun seperti sarden di dalamnya. Seorang penumpang
perempuan terisak. Di daerah Tunggul Hitam, puluhan kendaraan berbelok kesana,
ke arah zona hijau, Lubuk Minturun dan Bypass. Haruskah kami pergi kesana?
Tidak, aku harus ke Lubuk Buaya. Aku pasti akan aman di sisi mama. Aku tak sanggup jika tak bisa melihat
wajahnya lagi.
***
Di
saat genting dan terjepit seperti itu, semua orang tampak berubah. Kami menjadi
pemarah. Setiap ada yang lambat naik atau turun angkot, semua orang akan
berseru kesal. Tak terkecuali diriku. Setiap saat aku merasa kesal kenapa
angkot itu berjalan lambat sekali, kenapa ada macet yang menjebak kami di
daerah Tabing. Aku hanya ingin cepat sampai. Mama terus menelepon, menanyakan
keberadaanku. Aku tak tahu sedang dimana, semua samar, karena panik dan hari
sudah malam. Gelap.
Namun
di satu sisi, aku sedikit merasa tenang melihat beberapa orang di lapau nasi
dan kedai lain masih santai. Bahkan ada yang duduk bersilang kaki dan merokok.
Tidakkah mereka takut? Ah, pasti warga kota Padang sudah pernah menghadapi
gempa dengan isu tsunami 2009 lalu tersebut sudah terbiasa. Sedangkan diriku
baru menginjak kota ini tahun 2012, dan hanya berpengalaman dengan gempa-gempa
kecil.
Entah
sudah berapa lama kami berada di atas angkot. Saat melintasi daerah Muaro, aku
melongok ke arah pantai yang tampak lebih jelas disana. Aneh, laut tampak
begitu tenang dengan deburan ombaknya, meski ia berwarna hitam saat itu. Dan
lebih anehnya lagi, aku kembali menghembus nafas lega. Namun bukan berarti
keteganganku berkurang.
Akhirnya
angkot telah melewati pasar Lubuk Buaya, itu artinya komplek Lubuk Sejahtera
Lestari yang kutuju telah dekat. Di tanganku telah tergenggam selembar uang
biru. Karena panik aku memutuskan untuk memberikan saja uang itu kepada supir
angkot. Aku tak punya uang receh.
**
Angkot
berhenti, komplek Lubuk Sejahtera Lestari terlewat sedikit. Kuberikan uang
lembaran biru itu.
“Baliakkan
se bara nan ado, da”
“Ndak
bisa bitu do diak.”
Supir
itu, dia menolak menerima uangku begitu saja. Ia mengambil uang kembalian, aku
menyambarnya dan langusng pergi.
“Oi!”
supir tadi berseru marah.
Ternyata
kembaliannya masih kurang. Kenapa ia memarahiku untuk memberikan uang kembalian
tersebut? Kenapa ia tidak pergi saja? Bukankah saat ini semua orang tengah
dikejar waktu? Ya Allah, disaat seperti itu, ia masih menolak uang yang
menurutnya bukan haknya. Ia pasti seorang pria yang benar-benar baik.
Usai
urusanku dengan sang supir, aku melongok mencari mama. Aku memintanya menunggu
di seberang komplek, di depan Kantor Camat Koto Tangah. Aku merasa tak sanggup
untuk menyeberang. Saat sosok wanita tegar itu tampak, air mata ini tumpah, tak
kuasa lagi untuk tertahan. Dari seberang jalan hingga ke dalam rumah tanganku
dan mama terus bergenggaman erat.
***
Ternyata
perjalanku mulai dari rumah kost sampai ke depan jalan raya, kemudian saat di
angkot, hingga sampai ke dalam rumah memakan waktu satu jam. Waktu memang
sangat tidak terasa lamanya. Di dalam rumah etek dan om, kami terus memantau
televisi. Allah Maha Besar. Peringatan tsunami telah dicabut. Jika tsunami
memang datang, mungkin aku akan terhenti di tengah perjalanan. Setelah itu tidak
tahulah apa yang terjadi.
***
Sebelum
tidur, aku bertukar kabar dengan teman-teman yang lain dan saudara di rantau.
Syukurlah, teman sekamarku, Putri, Suci dan Kak Nanda telah mengungsi ke
Bypass. Terbetik rasa bersalah telah meninggalkan mereka begitu saja.
Adikku
sendiri yang tinggal di Limau Manih, dekat kampus Unand yang berada di zona
hijau juga panik. Ia menelepon beberapa kali karena teman-temannya mendengar
isu air laut surut saat itu. Air laut yang surut merupakan pertanda akan ada
ombak lain yang ganas dengan ketinggian berkali-kali lipat dari ombak biasa menerjang
daratan.
Terhitung
sejak 2 Maret hingga 3 Maret malam, tubuh ini masih gemetaran. Sedikit saja getaran
atau suara gemuruh membuatku gentar. Namun salah peristiwa bersejarah dalam
hidupku ini harus dituliskan. Aku ingin membagikan sebuah kisah saat maut yang
tak disangka-sangka nyaris tampak di hadapan. Serta bagaimana manusia bisa
berubah dalam sekejab di saat genting. Sebuah keadaan yang sedikit
menggambarkan bagaimana manusia terkatung-katung dalam kebingungan di saat akhir
zaman nanti.
*Padang, 3 Maret 2016 Pukul 10.30 WIB