Wednesday, August 31, 2016


Andai mereka tahu, tema yang tertulis pada diary tanggal ini sungguhlah berbeda dari tanggal-tanggal sebelumnya. Bukan tentang cinta-cintaan dan galau-galauan.
31 Agustus 2016. Penghujung Agustus ini ternyata menawarkan tema yang sebenarnya-tidak-baru-juga dalam hidupku. Karena dirimu.
Sungguh ku tak menyangka, wajah dan tingkahmu yang begitu polos dan ceria mampu mengkhianati mataku yang begitu baik melihatmu.
Andai engkau tidak mengkhianatiku, aku sudah seharusnya bisa menghilangkan paradigma buruk pada benda berbentuk kotak berwarna oranye (dan warna-warna lainnya juga) beroda hitam yang bisa berjalan yang ditempeli aneka stiker unik yang acapkali memutar musik yang memekakkan telinga itu.
Siang tadi, engkau dan teman-temanmu memakai baju batik putih berpola biru gelap melingkar yang indah serta celana panjang biru tua yang rapi. Tipikal pelajar Indonesia yang baik. Oh, please.
Andai engkau tidak memakai seragam batik yang memikat itu, aku bisa lebih mengetahui maksud dan tujuan engkau dan teman-temanmu memilih duduk melingkariku. Padahal banyak bangku lain yang masih kosong. Sungguh, sedari awal kita bertemu perasaanku memang tidak enak juga.
Andai engkau melihatku beberapa hari ke depan, memakai baju safari kuning tua yang bersahaja itu, yang setiap hari dipakai oleh manusia-manusia mulia yang mengajarimu huruf dan angka, engkau bisa jadi telah khilaf mengkhianati jenis manusia yang dikatakan pahlawan yang tidak memiliki tanda jasa itu.
Ah, ya sudahlah. I’m okay. 나는 괜찬하.
Andaikan engkau dan kawan-kawanmu tidak mengkhianatiku, aku dan kawanku tidak harus memutari seperempat ibukota berulang kali, mencari-cari yang engkau ambil. Namun tak mengapa, kawan-kawanku adalah orang yang baik. Hari itu aku bersyukur melihat betapa mereka menghiburku sedemikian rupa akibat pengkhianatan yang kalian lakukan. Semoga engkau diberikan yang lebih baik lagi daripada itu, ucap salah seorang kawanku.
Andaikan engkau dan kawan-kawanmu tidak berkhianat. Perlu diketahui, yang telah kalian rampas itu adalah dari keringat, oleh keringat, dan untuk keringat.

*Padang, 1 September 2016. Pukul 3.01.


Monday, April 25, 2016




Kurang lebih dua hari ini, dua ekor anak kucing muncul di indekos saya. Kedua anak kucing itu saya sebut si Oranye dan si Belang. Si Oranye bertubuh agak kurus. Ia memiliki mata berwarna hijau, bulu berwarna oranye keemasan dengan garis-garis kecoklatan. Si Belang memiliki kombinasi warna putih dan hitam pada bulunya. Matanya berwarna hijau pudar. Mereka menampakkan diri tiap mendengar percikan minyak goreng yang dipanaskan di dapur.
Kucing yang pertama kali muncul adalah si Oranye. Saya menemukannya saat ia sedang berjemur damai di bawah bayangan sebuah sepeda motor. Karena saya adalah penggemar kucing, saya mengambil foto si Oranye beberapa kali. Awalnya dia agak terganggu dan marah. Namun lama-lama ia terbiasa saja dengan tingkah konyol saya yang bolak-balik mengitarinya. Foto terbaik si Oranye pun saya pajang pada beberapa akun media sosial.
Esoknya, seekor kucing lain muncul. Si Belang. Awalnya ia mengawasi pelan-pelan dari balik pintu dapur. Namun melihat si Oranye yang lincah saja bermain di dekat saya, perlahan ia mendekat dan ikut memandori.
Saya merasa Si Oranye lengkap dengan si Belang datang karena mendengar suara minyak goreng mendidih yang sangat ribut, yang agak lebih keras dari biasanya. Waktu itu saya membuat tahu isi goreng. Tepung yang dicairkan tersebut itulah yang menyebabkan kerasnya suara minyak yang mendidih.
Inilah kali kedua si Oranye memandori saya di dapur. Saya mengambil sepotong kecil tahu dan melemparkannya kepada si Oranye dan juga saudaranya, si Belang. Sayang, si Belang tampaknya tak menyukai tahu. Ia hanya mengendus potongan tahu itu sebentar lalu pergi mengendus yang lain. Sepertinya melihat si Belang yang tak bernafsu, si Oranye juga bertingkah ogah-ogahan. Padahal kemarin ia memakan potongan tahu yang kuberikan. Mungkin dia bosan.
***
Ah, ternyata mereka tidak bosan kok. Dan hari ini juga hari keberuntungan mereka. Kenapa? Karena menu hari ini adalah ikan goreng balado. Mereka telah hadir di dapur bahkan sebelum minyak yang mendidih berbunyi. Ya, mereka berlarian kegirangan saat mencium aroma ikan yang sedang dibersihkan. Mereka mengeong bersahut-sahutan, tak berhenti.
Si Oranye dan si Belang tampak sangat tidak sabar untuk mencicipi ikan tersebut. Mereka tak tenang, mereka bolak-balik berlari di dapur dan berputar-putar di kaki saya. Malahan si Oranye  melompat ke dekat kompor dan ikut mengawasi saya mengupas bawang untuk sambalado.
Si Oranye memang agak menganggu. Makanan yang sudah hampir jadi saya letakkan paling atas agar tidak ia sambar. Ia bahkan juga mengendus cabai, sampah kulit bawang, apapun yang terletak di atas meja. Sudah beberapa kali saya memindahkannya ke bawah, tapi ia pasti naik lagi. Akhirnya saya biarkan saja si Oranye itu. Repot juga kalau tiap kali memindahkannya harus mencuci tangan, mengingat ia pasti sudah bermain dimana saja.
Kucing kecil ternyata tak ubahnya seperti manusia kecil, serba penasaran. Sedari tadi ia sudah tergila-gila dengan aroma ikan yang sedang diungkep di dalam kuali. Saya masih mengawasinya dengan sudut mata. Ia pelan-pelan mengendap-endap mendekati kuali, mungkin ingin langsung mencomot ikan yang tengah direbus itu, dan hap! ‘Tangan’ kecilnya pun menjangkau dan menyentuh tepian kuali.
***
Saya hanya bisa melongo, antara kasihan dan menahan tawa. Si Oranye kontan menarik ‘tangannya’ dan melompat saking terkejutnya. Ternyata tepian kuali itu panas, ya.
Akhirnya saya tak bisa menahan tawa. Si Oranye jadi tak bersemangat lagi berada di dekat kompor. Ia pun turun ke bawah dan kemudian bermain bersama si Belang yang lebih kalem itu.
***
Dan saat-saat yang dinanti si Oranye dan si Belang tiba. Saya mencampurkan ikan yang sudah direbus dengan nasi putih. Porsi untuk mereka masing-masing pun saya lebihkan bahkan dari porsi kucing dewasa.
Dan saya tidak salah untuk porsi tersebut. Ternyata mereka makan sangat lahap sampai tidak bersisa. Bahkan mereka masih menjilati lantai semen sisa nasi tersebut.
Ya, mereka memang sangat lapar. Mereka bahkan tidak sabar menunggui saya mengaduk nasi dan ikan rebus yang masih panas itu. Jadi selagi menunggu nasi dan ikan dingin untuk bisa diaduk, saya menjatuhkan beberapa potong tulang yang lunak sebagai appetizer. Setelah makanan pembuka tersebut habis, saya meletakkan nasi tersebut dua tempat, dengan porsi si Oranye lebih banyak karena ia lebih kurus. Sembari makan, mereka mendengkur senang.
***
Usai makan, si Oranye dan si Belang yang sedari tadi heboh telah tenang. Mereka berbaring malas di bawah pot tanaman sambil bercanda.

***
Melihat mereka berbaring dan kekenyangan itu membuat saya bahagia. Kucing merupakan hewan jinak maka ia dijadikan sebagai hewan peliharaan. Kucing juga kerap menunjukkan tingkah-tingkah yang menggemaskan yang membuat ia menjadi hewan yang disayangi.  Pada beberapa artikel mengenai kucing, dengkuran kucing yang befrekuensi 20-140 Hzmerupakan sebuah terapi tidur yang baik. Manusia yang mendengar dengkuran kecilnya itu akan merasa nyaman sehingga tidur mendengar dengkuran kucing membuat tidur menjadi lebih cepat dan lebih nyenyak.
Namun saya heran karena hewan lucu ini juga kerap kali ditemukan terlantar di jalanan. Banyak juga yang tega menyiksanya dengan menyiram, menendang dan memukul hingga beberapa kucing jalanan terlantar menjadi cacat, kulitnya terkelupas, bagian tubuhnya rusak. Banyak juga kucing terlantar yang kehilangan kakinya, matanya bahkan nyawanya.         
Padahal manusia telah dididik dalam pelajaran moral baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah untuk menyayangi sesama, termasuk makhluk hidup lainnya seperti tanaman dan hewan. Dalam agama yang saya anut, juga disebutkan perihal menyayangi sesama makhluk hidup.
Dalam Al-Qur’an shurah At-Thaahaa (20) ayat 49-55 terdapat sebuah kisah dimana Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS menghadap Raja Fir’aun yang menanyakan Tuhan mereka.
49. Berkata Fir'aun: "Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?[924].
50. Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk[925].
51. Berkata Fir'aun: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?"
52. Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab[926], Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa;
53. Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.
54. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.
55. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,

Maka manusia sebaiknya tidak mengabaikan akal yang dimilikinya serta emosi yang salah satunya berupa rasa kasih sayang. Yang mana akal dan emosi hanya dianugerahkan kepada manusia sebagai pemuncak kingdom Animalia, kingdom tertinggi dengan kelas yang memiliki struktur biologis paling kompleks.


Padang, 26 April 2016 pukul 24.50




Wednesday, April 13, 2016

Taken from http://3.bp.blogspot.com/

Tulisan ini berawal dari rasa bersalah pada sekelompok semut merah yang tanpa sengaja telah mengajarkan saya arti kehidupan.
***
Sungguh, saya benar-benar terkejut dan kesal saat mendapati sekumpulan semut merah telah menjalari nasi di dalam panci rice cooker. Padahal saya sedang letih dan ingin langsung makan siang.
Siang itu saya baru saja pulang dari suatu tempat sambil menenteng es sari tebu dan beberapa camilan. Es tebu memang sangat cocok untuk melepas dahaga sekaligus mengisi kembali tenaga yang terkuras. Udara sedang agak panas memang.
Sayang, saya tak begitu memperhatikan ketika hendak menyendok nasi karena sang sendok terletak dalam keadaan tertungkup. Akibatnya, saya tak bisa melihat sekawanan semut yang bersembunyi di baliknya. Ternyata saya lupa membuang gelas plastik bekas es tebu yang dibeli tadi. Saya tanpa sengaja meletakkan gelas plastik di samping sendok nasi. Alhasil kedua benda tersebut pun telah dijalari oleh semut-semut merah yang kondang akan gigitannya yang ganas.


Kini saya kebingungan bagaimana cara mengeluarkan mereka dari dalam panci. Saya ingin makan. Panci itu sudah diguncang-guncang sedemikian rupa, namun semut-semut itu tak bergeming. Mereka tampak kebingungan karena tiba-tiba mendarat di atas nasi putih itu.
Akhirnya saya memakai metode pengusiran paksa. Saya letakkan panci itu di atas rice cooker dengan tutup terbuka agar mereka bisa keluar karena hawa panas yang tercipta. Namun saya salah perhitungan. Tepian panci memanas drastis. Semut-semut itu tak berani keluar. Akhirnya saya mengeluarkan panci tersebut dari dalam rice cooker. Lalu saya letakkan sendok tadi ke dalam panci dengan keadaan tegak dan bersandar pada tepiannya. Fungsi sendok nasi tersebut adalah sebagai ‘jembatan keluar’.
Seekor semut langsung tanggap dengan sendok yang saya berikan. Ia langsung meniti jembatan buatan tersebut dan berlari keluar. Namun semut itu berhenti di tengah jalan dan tiba-tiba berbelok arah. Ia mengitari teman-temannya yang masih berada di bawah, seakan memberi sinyal: Kawan-kawan, ini ada jalan keluar!

Perlahan semut-semut yang di bawah mengikuti semut pertama tadi. Setelah rombongan semut pertama telah mencapai ujung jembatan, saya pindahkan mereka langsung ke atas lantai. Mereka pun berlari cepat seolah merayakan kebebasannya. Begitu juga dengan pembebasan rombongan kedua dan ketiga. Lalu pada rombongan terakhir, yaitu rombongan keempat, semut-semut tersebut sudah habis keluar.


Akhirnya saya melanjutkan makan siang yang tertunda tadi dengan tenang.

*Padang, 11 April 2016, Pukul 22.30

Bonus:
 Saat-saat para semut merah meniti jembatan untuk mencari jalan keluar.




Sunday, April 3, 2016


Anime yang satu ini tidak pernah lepas dari saya sejak kecil, sejak SD dulu. Kenapa? Karena saya telah jatuh hati dengan serial ini sejak pertama kali menatapnya di layar televisi. I don’t know why, its complicated plot really captivated me.
Saya telah lama berhenti menonton serial ini. Seingat saya, waktu itu pada masa-masa SD, anime ini menghilang dari salah satu stasiun TV swasta dan digantikan oleh acara pertandingan tinju. Cukup sedih memang, karena ceritanya terputus di tengah jalan dan saya penasaran seperti apa kelanjutan ceritanya.
Untuk mengobati kerinduan saya dengan serial ini, saya mengoleksi soundtrack nya sewaktu SMP dan mendengarkannya berulang-ulang. Terkadang dengan teman-teman sesama pecinta anime, kami bernostalgia membahas cerita bertemakan perang yang fenomenal itu. Menurut survei online oleh TV Asahi pada 2006, Inu Yasha menempati peringkat 20 dari 100 serial anime terbaik di Jepang.
Inu Yasha, atau lebih dikenal dengan siluman anjing setengah manusia. Saya bertemu lagi dengan serial ini pada tahun keempat di bangku perkuliahan. Saya mengoleksi serialnya hanya sampai episode 105. Itupun beberapa episode zonk. Sebenarnya saya mencari-carinya sampai episode terakhir, sayangnya karena kesibukan harian, saya tidak mendapatkannya.               
Karena tidak sabaran mengetahui endingnya, saya memutuskan untuk mencari spoiler episode terakhir serial ini alias The Final Act dari berbagai sumber. Dan, voila! Malam ini saya membaca sebuah artikel yang membahas karakter-karakter dari anime Inu Yasha. Akhirnya ending serial yang telah membuat kepala saya penuh karena penasaran terkuak.
Persis dengan harapan saya, anime Inu Yasha berakhir dengan indah. Tapi fakta di belakang akhir yang bahagia ini memang mengejutkan.
Dalam artikel yang saya baca itu, disebutkan dalam opening theme The Final Act, sang karakter utama, Inu Yasha dan Kagome telah terikat oleh benang merah, benang takdir. Kagome sendiri merupakan reinkarnasi dari cinta pertama Inu Yasha lima puluh tahun lalu, Kikyo.
Kikyo dan Inu Yasha yang saling mencintai terpisah oleh maut selama lima puluh tahun. Kemudian Kagome sebagai reinkarnasi Kikyo muncul. Akhirnya mereka ‘kembali’ ditakdirkan bersama. Jadi Inu Yasha telah benar-benar bertemu dengan cinta sejatinya.
Kenapa bisa?
Saat Kikyo menemui ajalnya, ia membakar bola kristal ajaib Shikon no Tama bersama jasadnya. Shikon no Tama sejak pertama kali terbentuk telah menjadi rebutan para siluman dan manusia yang memiliki niat jahat. Kikyo dan Shikon no Tama pun menghilang dari muka bumi saat itu.

Namun perasaannya terhadap Inu Yasha masih hidup. Shikon no Tama yang merupakan bola ajaib mendengar perasaan Kikyo.  Oleh kekuatan sakral Shikon no Tama, perasaan Kikyo yang masih hidup menjadi sebuah jiwa yang terlahir lima puluh tahun kemudian. Jiwa itu hidup pada seorang gadis yang menyerupai dirinya, Kagome.
Kagome sendiri terlahir dengan cahaya yang berkilauan. Cahaya itu berasal dari bola kristal Shikon no Tama yang telah berada di dalam tubuh Kagome semenjak ia lahir.
Shikon no Tama pada tubuh Kagome awalnya berada pada mode tidur. Namun saat ia mendekati Sumur Pemakan Tulang di kuil tempat ia tinggal, Shikon no Tama menjadi aktif kembali dan menghidupkan siluman yang pernah mati di dalamnya. Siluman tersebut kemudian mengambil paksa Shikon no Tama dari tubuh Kagome. Akibatnya, Kagome terseret ke dalam Sumur Pemakan Tulang yang menghubungkan dua zaman, zaman modern dan zaman perang. Kemudian Kagome pun terdampar ke zaman perang.
Kemudian, Inu Yasha yang tengah tertidur ‘abadi’ selama lima puluh tahun di zaman perang terbangun akibat mencium baru darah Kagome yang terluka. Bau darah dari reinkarnasi cinta pertamanya.
Begitulah awalnya mereka bertemu. Tidak hanya sampai disitu, mereka juga tertakdir untuk berjuang bersama. Berjuang untuk melenyapkan bola kristal ajaib Shikon no Tama yang diperebutkan para siluman dan manusia yang berniat jahat. Selama perjuangan itulah mereka jatuh cinta.
Dan saat Shikon no Tama akan dilenyapkan, saat itulah Inu Yasha dan Kagome memutuskan untuk bersatu.                 
Akhir yang indah bukan?
Disini, saya sangat menyukai karakter Kagome. Karakternya digambarkan sebagai seorang wanita berwajah cantik dengan tubuh yang indah dan kulit yang mulus.
Seharusnya dengan paras seperti itu ia bisa hidup dengan bahagia tanpa bersusah payah berjuang di jaman Perang yang notabene bukan zamannya. Pada zamannya, zaman modern, ia bisa saja hidup dengan Hojou-kun. Hojou-kun merupakan pria idaman di SMP nya. Hojou-kun juga terang-terangan menyukai Kagome.
Tak seperti remaja-remaja yang lainnya, Kagome sangat yakin dengan keputusannya. Ia tidak takut melawan arus, hidup berbeda dari orang-orang normal. Meski sempat dipermalukan oleh teman-temannya karena tidak pernah berkencan, ia tetap pada pendiriannya.
Ia tetap memilih untuk sendiri dan berjuang bersama sahabat-sahabat di zaman perang yang berada pada dua ratus tahun yang lalu. Hidup di zaman tersebut tidaklah mudah. Ia telah bertaruh dengan maut hingga  puluhan kali. Karena ia adalah wanita yang kuat, ia mampu bertahan.
Akhirnya ia bertemu dengan cinta sejatinya dan hidup di tempat yang membuatnya bahagia.



*Padang, 3 April 2016. Pukul 23.11


Saturday, March 19, 2016

Mentari di kota Padang nyaris menggantung di puncak langit kala itu. Saya baru saja menaiki sebuah angkot putih jurusan Tabing dari depan Basko Grand Mall. Belum lama, hanya sekitar lima menit. Saya sedang asyik menikmati langit kota yang bersinar manis kala itu. Warna biru langit masih bercampur dengan awan gelap yang dihiasi sinar merah muda bercampur oranye bekas fajar tadi.
Suasana langit pagi sebelum berangkat.
Sumber foto: Dokumen pribadi penulis.


***
Tak lama kemudian angkot berhenti di sekitar Pasar Ulak Karang. Agaknya sang supir menunggu orang yang berjalannya lama sekali. Awalnya saya acuh karena sibuk memperhatikan beberapa toko yang tengah bersiap-siap untuk buka. Namun saya tak sabar juga karena mulai kepanasan. Orang yang dinanti-nanti pun belum naik juga. Lalu saya menengok ke jendela. Dari arah Pantai Purus, tampak tiga orang pria berbadan tegap dan berwajah bersih berjalan santai menuju angkot. Mereka masing-masing memanggul sebuah tas ransel besar, mirip tas yang bertengger di punggung para backpackers. Isinya penuh namun tampak ringan. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam angkot.
***

Ketiga orang itu tampak repot sekali mencari tempat duduk. Lalu bergeserlah seorang pria paruh baya bertubuh gempal dengan kaus abu-abu ke tempat duduk paling pojok. Sekilas penampilannya mirip dengan ketiga pria backpackers itu.  
Pria backpacker pertama dan kedua duduk bersebelahan dengan pria berkaus abu-abu. Sedangkan pria backpacker ketiga duduk berseberangan, menghadap pria backpacker kedua. Setelah angkot berjalan, pria berkaus abu-abu seketika mengamati setiap orang diatas angkot. Selain saya, ada mama saya, seorang mahasiswi dan seorang pria umur 25-an.
Tiba-tiba pria berkaus abu-abu menyeringai, matanya mendelik ke arah saya. Seketika saya teringat sebuah kejadian, kira-kira tiga setengah tahun lalu. 

Saya hendak pergi kuliah. Dengan posisi duduk yang sama, tiga orang pria paruh baya bertubuh kurus dengan gerak-gerik aneh mengepung saya yang tengah duduk sendiri di atas angkot. 
Sumber ilustrasi: Dokumen pribadi penulis.
Salah seorang pria tersenyum 'ramah' dan tiba-tiba mengetuk punggung tangan saya. Pandanganku seketika sedikit mengabur, dan saya mengantuk. Namun perasaan terasa sungguh tidak enak dan hati kecil saya bergetar. Saya langsung menyetop angkot dan tanpa jeda menyambar angkot lain. Angkot sebelumnya itu berhenti. Ketiga orang itu tampak sedikit kaget dan tampak hendak turun dari angkot. Untung angkot baru yang saya naiki telah penuh. Ia melaju kencang membawa saya yang gemetaran, terdiam seribu bahasa.
***

Kembali saya melihat ketiga backpackers berbadan tegap itu. Tanpa membuang waktu lagi saya menyetop angkot. Mama langsung terkejut dan tak berhenti bertanya sampai saya membayar ongkos. Ketiga backpackers itu juga tak kalah terkejut. Ketika melewati pintu keluar, salah seorang backpacker mulai mendesakkan ranselnya ke tas jinjingku.
Kami turun di Ulak Karang. Seharusnya kami berhenti di Jalan Ahmad Yani untuk menyambung angkot lain. Tapi saya diam saja. Sang supir tampak kesal. Ia kalap, dan memasang tarif mahal. Sama seperti tarif dari Air Tawar ke Pasaraya. Sungguh tega. Entahlah apa yang ada di pikirannya.
Akhirnya kami bebas.
Seketika kedua tanganku gemetaran. Badan pun perlahan mendingin. Akhirnya saya menjelaskan kepada mama alasan kenapa kami turun ‘lebih cepat’.
Wajahnya yang kebingungan langsung berubah ketakutan. Mungkin sama persis seperti ekspresi ketakutan saya waktu itu. Sayang sekali, mama tidak begitu ngeh dengan keganjilan di atas angkot tadi.
***

Saya memang tak bisa langsung menuding para backpackers tadi dan kawan-kawannya hendak berbuat jahat. Namun ketika itu jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasa. Bibir terasa kering dan seluruh tubuh gemetaran. Hal itulah yang saya rasakan ketika dipojokkan orang asing di atas angkot semester satu lalu. Sang intuisi mengatakan hal yang sama pada dua kejadian yang berbeda tersebut. Pergi. Sejauh-jauhnya.


*Padang, 19 Maret 2016. Pukul 23.18.


Thursday, March 3, 2016

Saat itu nyaris memasuki waktu isha. Berarti kira-kira jam 19.40. Aku dan teman sekamar baru saja kembali dari warung membeli beberapa camilan. Aku tengah duduk, menghadap kipas angin, mengusir panas yang begitu menyengat seharian tadi. Ya, sekitar seminggu ini, hari begitu cerah, panas, nyaris tak ada segaris awan putih di langit yang biru. Panas yang tak wajar tersebut merupakan salah satu tanda gempa besar yang akan terjadi.
Tiba-tiba, Putri, teman sekamar saya itu berteriak panik. Saat itu beberapa gadis di depan rumah juga tengah berteriak dengan hebohnya, tampaknya keroyokan acara ulang tahun. “Kak, gempa!”
Gempa? Aku terbingung diantara suara panik Putri dan teriakan anak-anak diluar. Tapi keadaan tampaknya serius. Putri langsung menarik tanganku dan kami keluar ruangan. Ternyata semua orang telah berada di luar ruangan. Wajah mereka cemas, beberapa menerawang dengan tatapan kosong. Suara heboh tadi sudah menghilang, berganti dengan teriakan panik karena gempa tak kunjung berhenti.
Anehnya ku tak merasakan sedikit getaran pun. Aku mencoba meyakinkan Putri. Ia gemas dan menunjuk pohon yang berdiri di depan kamar kost kami. Pohon itu bergoyang-goyang. Tapi lagi-lagi aku tak merasakan getaran apapun. Dalam beberapa menit yang mencekam itu, kami terdiam. Beberapa orang menelepon sanak famili, yang lainnya browsing, mencari info tentang gempa.
***
Suara adzan berkumandang, masih belum ada info yang jelas mengenai gempa. Kami masih diliputi keheningan. Kemudian Putri berseru di tengah suasana yang nyaris akan pecah. “Kak, 8,3 kak, makonyo kareh tu nyo, potensi tsunami kak.”
Ya Allah, tsunami? Kata-kata itu hanya sering aku dengar di televisi dan ku lihat di media cetak. Kini, mungkin dalam jangka waktu tiga puluh menit lagi ia akan menghantam kota yang telah kudiami selama kurang lebih empat tahun ini.
Kota Padang dilihat dari udara.
Sumber gambar dari http://2.bp.blogspot.com/
Tiba-tiba ku teringat handphone masih terletak di dalam tas. Segera kuamankan barang-barang berharga. Ternyata mama sudah menelepon, tapi tak terangkat. Missed call. Sungguh sayang, saat itu kartuku tengah masuk masa tenggang. Mama, tolong telepon aku sekarang.
“Rissa? Pergi ke Lubuk Buaya sekarang” ucap mama begitu panggilan yang kedua masuk. Ah, suara itu memberiku sedikit nafas disaat yang mencekam. Namun aku bimbang, ada Putri yang ketakutan karena akan kutinggalkan sendirian. Tak lama kemudian, entah kenapa inderaku mendadak menjadi berlebihan. Aku seakan mendengar debur ombak dan mencium aroma segar laut.
Aku langsung berinisiatif mengajaknya untuk pergi. Entah apa yang ada di pikiranku, aku menyuruhnya pergi dengan motornya ke kampung halamannya , Pariaman, dan aku akan ke Lubuk Buaya. Disana ada mamaku, etek, om dan nenek. setidaknya aku akan berada di antara orang-orang terdekat…mungkin disaat terakhirku. Saat itu aku hanya ingin melihat wajah mama, apapun yang terjadi.
Putri sendiri bimbang, ia memilih menunggu teman sekamar yang lain, Kak Nanda dan Suci. Ya Allah, aku ingin berada di dekat mamaku secepatnya. Kalau bisa langsung melesat.
“Put, kak pai yo, kak nio ka lubuak buayo.”
Sungguh berat melihat Putri yang mengiyakanku untuk pergi. Aku hanya ingin berada di dekat mama. Oh, egoiskah diri ini?
***
Aku berlari, entah seberapa cepat. Saat itu langusng ku sambar angkutan kota berwarna oranye, jurusan Lubuk Buaya. Orang-orang di dalam angkot masih belum tahu ada bahaya yang mengancam saat itu.
Tak lama kemudian sebuah pemandangan membuat tubuhku mendingin. Puluhan sepeda motor dengan penumpangnya yang berderet-deret dan beberapa mobil keluar dari Simpang Labor. Wajah mereka semua panik dan kosong. Akhirnya semua orang di dalam angkot menyadari bahaya yang akan segera mengancam. Dua kata terngiang di telingaku. Tsunami. Mengungsi.
Gambar kekacauan saat gempa diambil dari cdn.tmpo.co/. Saat itu, penulis
tak memiliki alat untuk mengambil gambar.
Sang supir langsung tanggap dengan situasi ini. Ia menaikkan semua orang dengan cepat. Kami bersusun-susun seperti sarden di dalamnya. Seorang penumpang perempuan terisak. Di daerah Tunggul Hitam, puluhan kendaraan berbelok kesana, ke arah zona hijau, Lubuk Minturun dan Bypass. Haruskah kami pergi kesana? Tidak, aku harus ke Lubuk Buaya. Aku pasti akan aman di sisi mama. Aku tak sanggup jika tak bisa melihat wajahnya lagi. 
***
Di saat genting dan terjepit seperti itu, semua orang tampak berubah. Kami menjadi pemarah. Setiap ada yang lambat naik atau turun angkot, semua orang akan berseru kesal. Tak terkecuali diriku. Setiap saat aku merasa kesal kenapa angkot itu berjalan lambat sekali, kenapa ada macet yang menjebak kami di daerah Tabing. Aku hanya ingin cepat sampai. Mama terus menelepon, menanyakan keberadaanku. Aku tak tahu sedang dimana, semua samar, karena panik dan hari sudah malam. Gelap.
Namun di satu sisi, aku sedikit merasa tenang melihat beberapa orang di lapau nasi dan kedai lain masih santai. Bahkan ada yang duduk bersilang kaki dan merokok. Tidakkah mereka takut? Ah, pasti warga kota Padang sudah pernah menghadapi gempa dengan isu tsunami 2009 lalu tersebut sudah terbiasa. Sedangkan diriku baru menginjak kota ini tahun 2012, dan hanya berpengalaman dengan gempa-gempa kecil.
Entah sudah berapa lama kami berada di atas angkot. Saat melintasi daerah Muaro, aku melongok ke arah pantai yang tampak lebih jelas disana. Aneh, laut tampak begitu tenang dengan deburan ombaknya, meski ia berwarna hitam saat itu. Dan lebih anehnya lagi, aku kembali menghembus nafas lega. Namun bukan berarti keteganganku berkurang.
Akhirnya angkot telah melewati pasar Lubuk Buaya, itu artinya komplek Lubuk Sejahtera Lestari yang kutuju telah dekat. Di tanganku telah tergenggam selembar uang biru. Karena panik aku memutuskan untuk memberikan saja uang itu kepada supir angkot. Aku tak punya uang receh.
**
Angkot berhenti, komplek Lubuk Sejahtera Lestari terlewat sedikit. Kuberikan uang lembaran biru itu.
“Baliakkan se bara nan ado, da”
“Ndak bisa bitu do diak.”
Supir itu, dia menolak menerima uangku begitu saja. Ia mengambil uang kembalian, aku menyambarnya dan langusng pergi.
“Oi!” supir tadi berseru marah.

Ternyata kembaliannya masih kurang. Kenapa ia memarahiku untuk memberikan uang kembalian tersebut? Kenapa ia tidak pergi saja? Bukankah saat ini semua orang tengah dikejar waktu? Ya Allah, disaat seperti itu, ia masih menolak uang yang menurutnya bukan haknya. Ia pasti seorang pria yang benar-benar baik.
Usai urusanku dengan sang supir, aku melongok mencari mama. Aku memintanya menunggu di seberang komplek, di depan Kantor Camat Koto Tangah. Aku merasa tak sanggup untuk menyeberang. Saat sosok wanita tegar itu tampak, air mata ini tumpah, tak kuasa lagi untuk tertahan. Dari seberang jalan hingga ke dalam rumah tanganku dan mama terus bergenggaman erat.
***
Ternyata perjalanku mulai dari rumah kost sampai ke depan jalan raya, kemudian saat di angkot, hingga sampai ke dalam rumah memakan waktu satu jam. Waktu memang sangat tidak terasa lamanya. Di dalam rumah etek dan om, kami terus memantau televisi. Allah Maha Besar. Peringatan tsunami telah dicabut. Jika tsunami memang datang, mungkin aku akan terhenti di tengah perjalanan. Setelah itu tidak tahulah apa yang terjadi.
***
Sebelum tidur, aku bertukar kabar dengan teman-teman yang lain dan saudara di rantau. Syukurlah, teman sekamarku, Putri, Suci dan Kak Nanda telah mengungsi ke Bypass. Terbetik rasa bersalah telah meninggalkan mereka begitu saja.
Adikku sendiri yang tinggal di Limau Manih, dekat kampus Unand yang berada di zona hijau juga panik. Ia menelepon beberapa kali karena teman-temannya mendengar isu air laut surut saat itu. Air laut yang surut merupakan pertanda akan ada ombak lain yang ganas dengan ketinggian berkali-kali lipat dari ombak biasa menerjang daratan.
Terhitung sejak 2 Maret hingga 3 Maret malam, tubuh ini masih gemetaran. Sedikit saja getaran atau suara gemuruh membuatku gentar. Namun salah peristiwa bersejarah dalam hidupku ini harus dituliskan. Aku ingin membagikan sebuah kisah saat maut yang tak disangka-sangka nyaris tampak di hadapan. Serta bagaimana manusia bisa berubah dalam sekejab di saat genting. Sebuah keadaan yang sedikit menggambarkan bagaimana manusia terkatung-katung dalam kebingungan di saat akhir zaman nanti.

*Padang, 3 Maret 2016 Pukul 10.30 WIB


Sunday, January 17, 2016

imgsource: http://purwoudiutomo.com

Liburan kemana aja?
Ah, euforia liburan memang luar biasa. Sanggup membawa pertanyaan yang epik itu tiap tahunnya.

Mungkin beberapa orang memilih untuk menikmati buaian sejuknya hawa pedesaan. Yang lainnya memilih menikmati hangatnya pasir pantai yang menggelitik. Beberapa yang lain barangkali pergi ke tempat yang jarang diketahui orang banyak.
Bagaimana denganku sendiri?

Aku memilih untuk mendaki sebuah gunung yang tengah bergejolak. Ini bukanlah kali yang pertama, sudah berkali-kali ku jejakkan kaki kesini. Dahulu, gunung yang cantik ini memberikan udara yang sejuk, oksigen yang cukup bahkan berlebih bagiku untuk bernafas. Sayang sekali, saat-saat indah itu tidak berlangsung lama.

Entah mengapa, aku tetap mengunjungi gunung itu, meski semakin lama frekuensinya semakin kurang. Dari tiap minggu, jadi tiap bulan, hingga tiap tahun.

Sebenarnya tempat itu tidaklah menyenangkan untuk dikunjungi lagi. Paru-paruku sebenarnya telah sesak terlalu lama menghirup awan tebal disana. Tapi ada sesuatu yang menarik hatiku untuk kesana.

Di puncak gunung nan elok itu bersemayam tiga bongkah emas yang tak ternilai. Sebenarnya emas-emas itu pernah berada di dekatku. Tapi entah kenapa ‘mereka’ bisa berjalan sendiri sampai sejauh itu. Dan sampai saat ini, aku hanya baru berhasil membawa satu bongkah emas.

Karena emas itu, tingginya gunung dan pekatnya awan tebal terindahkan oleh tubuhku yang rapuh ini.

Selama kurang dari satu bulan aku bertahan disana. Sebenarnya masih tidak mau untuk beranjak, but I have to. Ini bukan tempatku. Meski berat, akhirnya kuucapkan selamat tinggal pada kedua emas itu, dan kepada sang gunung.

I’ll be back someday. Ya, aku akan kembali, tapi tidak dengan tangan kosong. Aku akan pergi membawa kedua bongkah emas itu. Membawanya kembali ke sisiku. Kasihan mereka, awan pekat disana semakin pekat saja. Tunggu daku, wahai emasku.


For my precious gold. Actually you are nothing compared to gold or anything shining in this world. You are the reason why I live.

Blogger Tricks

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Text Widget

About me

About Me

My photo
Padang, Air Tawar Barat, Indonesia
Powered By Blogger

Subscribe

Search This Blog

Pinterest